Dengan suara yang khas, kereta selanjutnya pun berlari di punggungku dan menerpa rambutku. Hampir membuat tubuhku terbawa namun rupanya ada tangan yang menahan. Tangan halusnya. Namun tangan itu tak kuasa melepaskan. Ia terus melekat di bahuku, sambil menatap kedua mataku dengan kedua mata hitamnya. Mata kami saling beradu. Menyimbolkan hubungan kami yang telah berjalan dan menyiratkan berbagai kilasan-kilasan. Betapa setelah semua yang telah terjadi, kebingungan melandasi takdir kita kala harus memutuskan perpisahan.
Kamu menangis. Matamu tak pintar berbohong, rupanya. Lipatan dan garis sembab itu tak bisa kamu sembunyikan. Walau kini kamu yang memang hendak pergi meninggalkan, kamu tetap menunjukkan serumpun kesedihan. Kita berdua sebagai raja dan ratu hipokrit kini tak bisa lagi munafik, tak bisa lagi berlagak ksatria namun menangis kala sedih menerpa. Tak bisa lagi berkata ‘iya’ ketika hati berkata ‘tidak’. Tak bisa lagi berkata ‘tetaplah disini’ ketika 'ingin pergi'. Sejenak, sifatmu yang sulit ditebak kini sirna layaknya prajurit merenggang nyawa.
Kita disini berdua. Menatap kereta-kereta yang datang dan pergi. Memandang ke sekeliling stasiun dimana pertemuan dan perpisahan tak lagi terlihat beda. Jika kamu adalah orang yang terus duduk di kursi stasiun dan berjam-jam atau bahkan berhari-hari memandangi hilir mudik kereta dan orang-orang, kamu akan mengerti. Bahwa definisi dari pertemuan dan perpisahan tak lagi berarti. Toh, mereka berdua sama sama menjadi sebab airmata.
“maafkan aku, untuk satu tahunmu yang tanpa kebahagiaan...”
Aku mencium tanganmu. Lalu seperti biasa kau mengelus rambutku dan mengecup keningku. Mengingatkan akan kenangan masa silam, kala engkau masih mencintaiku setulus hati. Namun aku tahu, kamu tahu, kita semua tahu. Siapa yang sebenarnya tak bahagia, hingga perpisahan bisa keluar dari mulutmu yang manis. Kita semua tahu siapa yang lebih banyak berkata cinta namun juga banyak berlaku hina. Namun kamu masih mengelus rambutku, seolah menghormati mulutku yang terkunci. Tapi siapa sangka? Kita berdua pun tahu siapa yang kini menangis... tidak ada yang tertawa paling akhir. Hanya ada engkau yang menangis pertama, dan aku yang kini menangis di akhir.
“maafkan aku karena ketidakbahagiaanmu.”
Kau tak tahu sedalam apa cintaku. Ketika aku bergulat dalam teori hanya untuk membuat cintaku mampu mengobati luka yang telah ia buat sendiri. Ketika aku setiap hari mencegah airmataku mengalir dan mencegah otakku meraung karena tidak adil. Ketika aku yang menangis di malam hari dan akhirnya termenung di pagi hari sembari berkata pada diri sendiri. Bahwa aku ingin kamu bahagia... apabila yang kau lakukan kini membahagiakanmu, maka jangan berhenti. Jangan berkata maaf bila itu bisa membuatmu bebas menyakiti. Jangan pedulikan luka yang telah tertoreh ketika kamu seharusnya mencegah. Aku ingin kamu bahagia, di sisa sisa hatiku yang telah habis.
“sesungguhnya memang tak ada orang lain. Hanya kamu”
Satu lagi teori favoritmu. Menurutmu dengan pergi mencari kebahagiaanmu yang bukan aku lalu datang kembali dengan membawa senyuman andalanmu itu termasuk hal yang biasa. Menurutmu dengan sembunyi-sembunyi menghubungi dan menggoda orang lain tidak termasuk menyakiti. Aku resah sayang. Aku terus menunggumu dengan berbagai firasat yang bisa membunuhku. Kau pikir dengan bisa mempercayaiku bahwa cintamu untukku, kau bisa bebas di belantara. Bebas melanggar janji dan sumpah setia. Bahwa kau takkan bermain-main, tapi rupanya kau kesepian... Tidakkah bagimu aku saja cukup? Ternyata memang tidak... Maafkan aku.
“aku mencintaimu.”
...
Kini bukan lagi kereta yang kulihat dari kejauhan di kursi stasiun. Bukan juga kereta yang berjalan di punggungku hingga rambutku diterpa oleh sang angin. Bukan lagi kereta sebagai sang perantara yang membawa pertemuan, kini menjadi sang pencetus takdir yang membawa perpisahan. Dimana dulu aku yang menunggumu di depan peron. Menunggumu menjemputku sambil menonton "just for laugh" yang biasa di putar di tv stasiun. Lalu kau datang, kulihat kau dengan wajah kebingungan sambil mencariku. Ketika mata kita beradu, kita saling mendekat. Kucium tanganmu dan seperti biasa kau elus rambutku. Semua berubah justru ketika kini kita tak perlu berjauhan dan jarak tak lagi membentang. Tapi kau tahu? Dua duanya sama, dulu dan sekarang, pertemuan dan perpisahan.
"jangan menangis."
Kamu bilang jangan menangis. Kamu bilang kamu tidak ingin mereka tahu...
Air mata. Kau menjadi saksi bisu bahwa aku menahanmu habis-habisan.
Saat itulah cintaku pun ku bawa pergi,
Dengan aku, yang tak lagi mendapat kecupmu setiap pagi.
Saya punya cerita tentang stasiun
Cerita bahwa pernah ada kita disini...

Kakakku:Vidya Nur Agustina
0 komentar:
Posting Komentar